LATAR BELAKANG
Sampai
saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli kependudukan
maupun para ekonom mengenai hubungan yang terjadi antara tingkat kesejahteraan
ekonomi terhadap tingkat kelahiran di suatu daerah atau negara.
Negara
– negara berkembang di Asia dan Afrika seringkali menjadi objek tempat di
lakukannya penelitian karena dianggap tingkat ekonominya masih rendah dan
tingkat kelahirannya yang cenderung masih tinggi.
Tingkat
kelahiran cenderung lebih tinggi di suatu masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Dan hal yang sama berlaku pula pada negara dengan tingkat kelahiran
tinggi, ternyata juga memilik pendapatan per kapita penduduknya yang tergolong
rendah. Peristiwa tersebut menyiratkan bahwa tingkat kelahiran yang tinggi
ternyata menyebabkan kemiskinan di masyarakat, atau kemiskinan dapat memberikan
kontribusi terhadap tingkat kelahiran.
Pada
abad 20 – 21 terjadi penurunan tingkat kelahiran di dunia yang ternyata di
iringi pula dengan meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita negara-negara
berkembang yang di anggap memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dengan
begitu sejauh ini terlihat bahwa ada hubungan langsung antara tingkat kelahiran
dengan kemiskinan. Maka dari itu perlu di dalami apakah perlu untuk menerapkan
kebijakan untuk mengontrol tingkat kelahiran seperti yang di lakukan negara
Cina.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah hubungan
antara tingkat kelahiran dengan ekonomi dan kemiskinan?
2.
Apakah hubungan antara
tingkat pendapatan suatu keluarga dengan preferensi jumlah anak yang ingin
dimiliki ?
3.
Apakah peran
seorang wanita terhadap tingkat kelahiran (dilihat dari faktor pendapatan dan
edukasi)?
TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui
hubungan antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan.
2.
Mengetahui
hubungan antara tingkat pendapatan suatu keluarga dengan preferensi jumlah anak
yang ingin dimiliki.
3.
Mengetahui peran
seorang wanita terhadap tingkat kelahiran (dilihat dari faktor pendapatan dan
edukasi).
LANDASAN TEORI
Notestein
(1945) menjelaskan bahwa dimensi awal transisi demografi berspekulasi pada
tekanan ekonomi, dimana ia berharap tingkat kelahiran (fertilitas) di dunia
pada penduduk berpenghasilan rendah berkurang karena di masa depan yang terjadi
adalah meningkatnya biaya yang berasal dari anak-anak di dalam kehidupan
perkotaan, yang berasal dari peningkatan biaya kesehatan anak dan juga
pendidikannya.
Hipotesis
lainnya berasal dari Mincer (1963), yang berpendapat bahwa sumber dari
pendapatan keluarga dapat mempengaruhi keputusan orang tua untuk memiliki anak
lagi. Misalnya, jika kenaikan pada pendapatan keluarga berasal dari
meningkatnya nilai waktu kerja seorang perempuan dalam keluarga (istri) maka peningkatan
tersebut tidak hanya menambah pendapatan keluarga namun juga meningkatkan harga
efektif dari seorang anak . Jadi orang tua akan memilih untuk memiliki anak
dengan jumlah yang sedikit.
PEMBAHASAN
A. Hubungan
Tingkat Kelahiran dengan Kemiskinan
Selama ini para
peneliti maupun ekonom memang sudah mengetahui adanya korelasi negatif antara
tingkat kelahiran dengan kemiskinan. Namun, masih banyak yang bingung untuk
menentukan apakah tingkat fertilitas yang tinggi menyebabkan kemiskinan atau
kemiskinanlah yang justru menjadi penyebab fertilitas yang tinggi.
Tingkat kelahiran yang
tinggi dengan kemiskinan bisa di ibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak bisa
di pisahkan. Tingkat kelahiran yang tinggi akan menyebabkan banyak anak yang
tidak dapat di jamin kualitas hidupnya. Jumlah gizi yang diterima cenderung
rendah begitu pula tingkat pendidikannya. Apabila suatu keluarga memiliki
banyak anak sudah dapat dipastikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya akan terbagi
– bagi sehingga tidak maksimal. Dengan tingkat pendidikan yang rendah,
seseorang tentu saja akan sulit bersaing di pasar tenaga kerja . Hal itu dapat
diperparah apabila jumlah lapangan kerja yang tersedia sangatlah kecil jika
dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Permasalahan tersebut sering dijumpai
di negara dunia ketiga.
Kemiskinan juga dapat
menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Misalnya, karena hidup dalam
kemiskinan seorang kepala rumah tangga memutuskan untuk memiliki banyak anak,
dengan harapan agar anak- anak tersebut nantinya dapat menopang keuangan
keluarga tersebut dan pada akhirnya dapat keluar dari jeratan kemiskinan.
Untuk melihat hubungan
tingkat kelahiran dengan ekonomi atau kemiskinan khususnya, maka negara
Lithuania di Afrika dapat kita jadikan sebagai contoh. Berikut gambaran yang
terjadi di sana.
Pada awal 1990-an , krisis ekonomi terjadi di
Lithuania yang berlangsung hingga tahun 1995. Selama periode ini , PDB
Lithuania mengalami penurunan yang tajam ( Grafik 1 ) , antara tahun 1992 dan 1993
Lithuania mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 15 persen
per tahun . Tingkat inflasi pun sangat tinggi, bahkan di tingkat hiperinflasi (
1163 persen ) pada tahun 1992 . Hal itu menyebabkan masyarakat Lithuania mendadak
menjadi “miskin” dan timbul ketidakmetaraan pendapatan di masyarakat .
Pada awal 1990-an , masyarakat Lithuania mengalami hampir
lima tahun yang panjang dalam penurunan kinerja ekonomi yang cukup ekstrim . Perekonomian
Lithuania mengalami titik terendahnya
pada periode 1992-1994 , dan baru pada tahun 1995 lah pemulihan ekonomi baru di
mulai, walaupun prosesnya berjalan cukup lambat .
Tanda-tanda pertumbuhan ekonomi terlihat pada
periode 1995-1998 . Pada periode 1999-2000 , perekonomian Lithuania kembali merosot
. PDB menurun hingga 1,7 persen pada tahun 1999 , dan tingkat pengangguran melebihi
10 persen pada periode 2000 hingga 2002. Setelah di cermati ternyata krisis
keuangan Rusia pada periode 1990-an lah yang bertanggung jawab atas
ketidakstabilan ekonomi Lithuania dalam periode tersebut.
Sejak tahun 2001 , perekonomian Lithuania telah
tumbuh pada tingkat yang cukup tinggi , lebih dari 6 persen per tahun . Pada
tahun 2003 , PDB meningkat sebesar 10,5 persen ( Statistik Lithuania 2007) . Pada
periode 2004-2005 pengangguran menurun secara signifikan . Pada awal 2006,
tingkat pengangguran adalah 4 persen ( Labour Exchange 2007 ) . Tingkat pengangguran
bagi kaum muda tetap tinggi sampai tahun 2005 . Menurut survei angkatan kerja,
tingkat pengangguran pada rentang usia 15 hingga 24 tahun cukup tinggi yaitu lebih
dari 20 persen dan hanya menurun menjadi 14 persen pada tahun 2005 ( Statistik
Lithuania 2000 , Statistik Lithuania 2002a , Statistik Lithuania 2003 , Bursa Kerja
2001 , Statistik Lithuania 2007 , Bursa Buruh 2007 ) .
Selama tahun 1990 , produksi antar lini sektor mengalami
perubahan di Lithuania. Persentase pada PDB yang dihasilkan oleh industri turun
secara signifikan , tapi persetase yang disumbangkan oleh sektor jasa mengalami
kenaikan. Pada tahun 1992 , 49 persen dari PDB disumbangkan oleh industri dan
konstruksi , 39 per persen oleh layanan , dan 12 persen oleh pertanian (
Statistik Lithuania 1997). Pada tahun 2000 sektor ini masing-masing
menghasilkan 30, 62 dan 8 persen dari PDB ( Statistik Lithuania2000) , dan pada
tahun 2004 sebesar 34 , 60 dan 6 persen ( Statistik Lithuania2007) .
Perubahan yang sesuai diamati pada pekerjaan
berdasarkan sektor . Pada tahun 1990 sebesar 39 persen , pada tahun 2000 sebesar
54 persen , dan pada tahun 2004 sebesar 56 persen dari semua karyawan yang
terlibat dalam sektor jasa. Perssentase penduduk bekerja di sektor industri dan
konstruksi turun tajam : dari 42 persen menjadi sekitar 27 persen dan 28 persen
( Statistik Lithuania 2000 , Statistik Lithuania 2007) . Transformasi gejolak ekonomi
ini menyebabkan diperlukannya banyak adaptasi bagi masyarakat dan disertai
dengan peningkatan risiko kehilangan pekerjaan. Maka untuk mendapatkan
pekerjaan di butuhkan kualifikasi yang lebih tinggi dari biasanya.
Meskipun perekonomian Lithuania sangat tidak stabil
pada 1990-an. Ternyata pendapatan per kapita penduduknya meningkat dari US $
487 di tahun 1992 menjadi sekitar € 2600 pada tahun 1996 , menjadi € 3800 di
tahun 2000 , dan € 6.030 pada tahun 2005 ( Statistik Lithuania 2007 ) .
Namun demikian , tingkat kemiskinan masih cukup
tinggi . Tingkat kemiskinan relatif adalah 18 persen pada tahun 1995 dan 16
sampai 17 persen pada periode 1998 sampai 2005 ( Statistik Lithuania 2007) . Tingkat
konsumsi makanan menurun, tetapi terus meningkat menjadi cukup tinggi, terutama
di daerah pedesaan. Pada tahun 1997 tingkat konsumsi adalah sebesar 52 persen ,
pada tahun 2005 sebesar 39 persen , dan di daerah pedesaan pada tahun 2005 sebesar
49 persen ( Statistik Lithuania 2007) .
Penurunan kinerja ekonomi di tahun-tahun pertama
transformasi menyebabkan penurunan standar hidup , dan mendorong berbagai
kelompok sosial dan ekonomi dalam kemiskinan. Menurut data dari Statistik Lihtuania
, sebuah strata sosial keluarga muda dengan standar hidup yang sangat rendah bemunculan
. Mereka keluarga muda yang memiliki lebih dari satu anak , hidup terpisah dari
orang tua mereka , dan memiliki setidaknya satu pencari nafkah yang bekerja di
sektor publik , industri , atau konstruksi , dan keluarga yang tinggal di daerah
pedesaan. Selain itu, data menunjukkan bahwa standar hidup secara langsung
berkaitan dengan jumlah anak dalam keluarga , dan selama hampir satu dekade
situasi ini belum berubah .
Dibandingkan dengan rumah tangga tanpa anak , pada
tahun 1997 rata-rata konsumsi pengeluaran per kapita per bulan di rumah tangga
dengan satu anak di bawah 18 tahun adalah 14 persen lebih rendah , dan di rumah
tangga dengan tiga anak atau lebih di bawah 18 tahun adalah 49 persen lebih
rendah ( UNICEF 1998) . Pada tahun 2005, masing-masing, 15 dan 51 per persen
lebih rendah ( Statistik Lithuania 2006c ) . Kemiskinan yang paling umum di
keluarga dengan anak di bawah 18 tahun , dan ini terutama terjadi dalam rumah
tangga dengan beberapa anak (tiga dan lebih ) . Tingkat kemiskinan relatif
antara keluarga seperti pada tahun 1997 dan pada tahun 2005 adalah 37 persen (
UNICEF 1998 , Statistik Lithuania 2006b ) .
Dengan demikian , tidaklah mengherankan bahwa
tingkat kelahiran turun tajam pada awal 1990 , terutama pada periode 1993-1994
. Pada awal 1990-an , niat untuk melahirkan menurun secara signifikan. Jumlah
anak yang diinginkan menurun dari 2,8 pada tahun 1990 menjadi 2,1 pada periode
1994-1995 ( Stankuniene et al . 2000) ..
Determinan ekonomi ternyata memiliki efek yang kuat
pada penurunan kesuburan di awal transformasi ekonomi dan selama krisis.
Bahkan, mereka menjabat sebagai dorongan untuk perubahan dalam pembentukan
keluarga, penolakan dan penundaan pernikahan, menghindari kewajiban perkawinan
jangka panjang, dll, dan kesuburan, penundaan melahirkan, atau memiliki anak
lebih sedikit. Namun, dalam paruh kedua tahun 1990-an, dampak dari determinan
ekonomi mulai melemah dan membuat kewalahan para pengambil kebijakan.
Dari contoh di negara Lithuania tersebut bisa kita
lihat bahwa dalam sebuah transisi perekonomian, yang biasanya di gambarkan
dengan ketidaakstabilan ekonomi, inflasi, pengangguran dan kemiskinan, tingkat
kelahiran akan cenderung rendah. Namun, dalam jangka panjang kemiskinan akan
menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Karena faktor-faktor dari transisi
tersebut mulai melemah.
B. Hubungan Tingkat Pendapatan Terhadap Preferensi
Kelahiran
Efek
kelahiran terhadap pendapatan suatu keluarga tergantung dari pilihan reproduksi
(behavioral demands) atau reproduktif
sukarela (biological supply). Behavioral demands berarti reproduksi
sebagai sebuah alat untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan biological supply yaitu anak sebagai penerus dari generasi
sebelumnya.
Kekayaan
sebuah keluarga diperkirakan
akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi modern dan nantinya akan mendorong
orang tua untuk memiliki lebih banyak anak, jika biaya relatif dan fungsi
anak-anak tidak berubah (Becker 1960, Schultz 1981). Biaya oportunitas memiliki
anak akan meningkat seiring dengan biaya barang dan kegiatan dalam membesarkan
anak-anak, sedangkan biaya pribadi, di beberapa kebutuhan pengganti untuk
anak-anak telah menurun, seperti pensiun hari tua dan perawatan kesehatan atau
telah disosialisasikan dan di subsidi oleh pemerintah.
Tingkat kelahiran menurun di negara-negara
berpenghasilan tinggi melalui teknologi pengontrol tingkat kelahiran. Perbaikan
dalam teknologi kesehatan anak meningkatkan proporsi tingkat kelahiran yang
selamat sampai dewasa. Perkembangan kesehatan ini menurunkan tingkat kelahiran,
dengan dua asumsi: tujuan reproduksi induk didefinisikan terutama dalam hal
jumlah anak yang bertahan
hidup dan permintaan akan keselamatan bayi adalah inelastis yang tinggi.(Schultz
1981).
Pengeluaran
per anak merupakan keputusan sebuah keluarga yg biasa disebut Beckker “demand
for child quality”. Bukti yang berkembang di abad 20 ini, keuntungan atau imbal
balik dari anak yang bersekolah berarti pula bahwa biaya dari bersekolah
menjadi lebih rendah. Hal itu akan mendorong
orang tua dan masyarakat untuk berinvestasi lebih banyak pada sumber daya dalam
pendidikan anak-anak. Beckker juga menganggap bahwa elastisitas pendapatan pada
permintaan untuk kualitas anak lebih besar daripada elastisitas pendapatan
terhadap permintaan kuantitas anak. Dan ini seharusnya mendorong orangtua untuk
mengganti kualitas anak untuk kuantitas anak agar pendapatan mereka meningkat
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut
penelitian sebelumnya semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita suatu
keluarga maka akan semakin rendah tingkat kelahiran. (Grafis 2)
C. Peran Wanita Terhadap Tingkat Kelahiran
Pada abad ke 19,
sebaran pertumbuhan dunia disebabkan oleh meningkatnya bentuk konsumsi anak
yang semakin beragam, adalah bukti dari kemajuan sekolah wanita, termasuk dalam
pendidikan tinggi. Peningkatan tingkat pendidikan
bagi wanita merupakan kunci dari faktor yang menjelaskan perbedaan tingkat
fertilitas dalam populasi, dan perhitungan untuk penurunan fertilitass ecara
keseluruhan pada tahun 1980 dan tahun 1990.
Sekolah untuk wannita
mungkin juga dapat memberi dampak untuk resiko kematian anak. Sensus yang
dilakukan setelah perang dunia kedua memberikan bukti bahwa lusinan negara
mengalami 5-10 persen kematian anak yang lebih rendah ketika sang ibu telah
mengenyam pendidikan selama bebrapa tahun.
Pendidikan bagi wanita
juga relatif dekat dengan partisipasi angkatan kerja bagi keluarganya, sehingga
tidak bergantung pada pemegang pendapatan utama keluarga itu sendiri yaitu sang
suami. Hal itu karena mereka dapat bergabung dalam menghasilkan pendapatan bagi
kelangsungan keluarga mereka. Pendidikan bagi wanita, tidak hanya berguna bagi
fertilitas dalam hidupnya, namun juga dapat dijadikan ukuran bagi seorang
wanita untuk menemukan usia yang cocok bagi mereka untuk melakukan pernikahan,
karena dengan hal tersebut sang wanita dapat mencocokkan masa produktifnya
dengan sang suami sehingga mereka dapat secara bersama menentukan siklus hidup.
Semakin tinggi tingkat
pendidikannya, maka pendapatan dari wanita tersebut bisa jadi akan semakin
tinggi pula. Dan itu sangat mempengaruhi terhadap preferensi seorang wanita
untuk melahirkan. Sebuah penelitian menyimpulkan setiap kenaikan pendapatan per
kapita sebesar 10 % akan menurunkan angka kelahiran yang di harapkan oleh
wanita yang berusia antara 15-49 tahun hingga sebesar 13%. Hal ini di dasari
oleh meningkatnya biaya oportunitas memiliki anak pada saat pendapatannya
meningkat. Sehingga seorang wanita akan lebih memilih memanfaatkan waktunya
untuk bekerja ketimbang merawat anak. Sehingga tingkat kelahiran akan menurun
apabila tingkat pendidikan dan pendapatan wanita tergolong tinggi.
KESIMPULAN
Tingkat kelahiran yang
tinggi dengan kemiskinan bisa di ibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak bisa
di pisahkan. Tingkat kelahiran yang tinggi akan menyebabkan banyak anak yang
tidak dapat di jamin kualitas hidupnya. Jumlah gizi yang diterima cenderung rendah
begitu pula tingkat pendidikannya. Apabila suatu keluarga memiliki banyak anak
sudah dapat dipastikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya akan terbagi – bagi
sehingga tidak maksimal. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, seseorang tentu
saja akan sulit bersaing di pasar tenaga kerja . Hal itu dapat diperparah
apabila jumlah lapangan kerja yang tersedia sangatlah kecil jika dibandingkan
dengan jumlah penduduknya.
Kemiskinan juga dapat
menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Misalnya, karena hidup dalam
kemiskinan seorang kepala rumah tangga memutuskan untuk memiliki banyak anak,
dengan harapan agar anak- anak tersebut nantinya dapat menopang keuangan
keluarga tersebut dan pada akhirnya dapat keluar dari jeratan kemiskinan.
Dalam sebuah transisi perekonomian, yang biasanya di
gambarkan dengan ketidaakstabilan ekonomi, inflasi, pengangguran dan
kemiskinan, tingkat kelahiran akan cenderung rendah. Namun, dalam jangka
panjang kemiskinan akan menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Karena
faktor-faktor dari transisi tersebut mulai melemah
Efek kelahiran terhadap
pendapatan suatu keluarga tergantung dari pilihan reproduksi (behavioral demands) atau reproduktif
sukarela (biological supply).
Pengeluaran per anak
merupakan keputusan sebuah keluarga yg biasa disebut Beckker “demand for child
quality”. Beckker menganggap bahwa elastisitas pendapatan pada permintaan untuk
kualitas anak lebih besar daripada elastisitas pendapatan terhadap permintaan
kuantitas anak. Dan ini seharusnya mendorong orangtua untuk mengganti kualitas
anak untuk kuantitas anak agar pendapatan mereka meningkat dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Semakin tinggi tingkat
pendidikan seorang wanita, maka pendapatan nya bisa jadi akan semakin tinggi
pula. Dan itu sangat mempengaruhi terhadap preferensi seorang wanita untuk
melahirkan.
Kenaikan pendapatan per
kapita sebesar 10 % akan menurunkan angka kelahiran yang di harapkan oleh
wanita yang berusia antara 15-49 tahun hingga sebesar 13%. Hal ini di dasari
oleh meningkatnya biaya oportunitas memiliki anak pada saat pendapatannya
meningkat.
Sehingga seorang wanita
akan lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk bekerja ketimbang merawat anak.
Sehingga tingkat kelahiran akan menurun apabila tingkat pendidikan dan
pendapatan wanita tergolong tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Paul, T. Schultz. 2005. “Fertility and
Income”. Economic Growth Center Yale
University.
Paper No.925.
_____________. 2001. “The Fertility
Transition Economic Explanations”.
Economic
Growth Center Yale University. Paper No.833.
Stankuniene, Vlada and Aiva
Jasilioniene. 2008.“Lithuania: Fertility decline and its
determinants”.
Demographic Research. July, Vol.19
Article 19.