Minggu, 07 Desember 2014

HUBUNGAN TINGKAT KELAHIRAN DENGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

LATAR BELAKANG

            Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli kependudukan maupun para ekonom mengenai hubungan yang terjadi antara tingkat kesejahteraan ekonomi terhadap tingkat kelahiran di suatu daerah atau negara.
            Negara – negara berkembang di Asia dan Afrika seringkali menjadi objek tempat di lakukannya penelitian karena dianggap tingkat ekonominya masih rendah dan tingkat kelahirannya yang cenderung masih tinggi.
            Tingkat kelahiran cenderung lebih tinggi di suatu masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dan hal yang sama berlaku pula pada negara dengan tingkat kelahiran tinggi, ternyata juga memilik pendapatan per kapita penduduknya yang tergolong rendah. Peristiwa tersebut menyiratkan bahwa tingkat kelahiran yang tinggi ternyata menyebabkan kemiskinan di masyarakat, atau kemiskinan dapat memberikan kontribusi terhadap tingkat kelahiran.
            Pada abad 20 – 21 terjadi penurunan tingkat kelahiran di dunia yang ternyata di iringi pula dengan meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang di anggap memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dengan begitu sejauh ini terlihat bahwa ada hubungan langsung antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan. Maka dari itu perlu di dalami apakah perlu untuk menerapkan kebijakan untuk mengontrol tingkat kelahiran seperti yang di lakukan negara Cina.


RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah hubungan antara tingkat kelahiran dengan ekonomi dan kemiskinan?
2.      Apakah hubungan antara tingkat pendapatan suatu keluarga dengan preferensi jumlah anak yang ingin dimiliki ?
3.      Apakah peran seorang wanita terhadap tingkat kelahiran (dilihat dari faktor pendapatan dan edukasi)?


TUJUAN PENULISAN

1.      Mengetahui hubungan antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan.
2.      Mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan suatu keluarga dengan preferensi jumlah anak yang ingin dimiliki.
3.      Mengetahui peran seorang wanita terhadap tingkat kelahiran (dilihat dari faktor pendapatan dan edukasi).


LANDASAN TEORI

Notestein (1945) menjelaskan bahwa dimensi awal transisi demografi berspekulasi pada tekanan ekonomi, dimana ia berharap tingkat kelahiran (fertilitas) di dunia pada penduduk berpenghasilan rendah berkurang karena di masa depan yang terjadi adalah meningkatnya biaya yang berasal dari anak-anak di dalam kehidupan perkotaan, yang berasal dari peningkatan biaya kesehatan anak dan juga pendidikannya.
Hipotesis lainnya berasal dari Mincer (1963), yang berpendapat bahwa sumber dari pendapatan keluarga dapat mempengaruhi keputusan orang tua untuk memiliki anak lagi. Misalnya, jika kenaikan pada pendapatan keluarga berasal dari meningkatnya nilai waktu kerja seorang perempuan dalam keluarga (istri) maka peningkatan tersebut tidak hanya menambah pendapatan keluarga namun juga meningkatkan harga efektif dari seorang anak . Jadi orang tua akan memilih untuk memiliki anak dengan jumlah yang  sedikit.


PEMBAHASAN


A.    Hubungan Tingkat Kelahiran dengan Kemiskinan

Selama ini para peneliti maupun ekonom memang sudah mengetahui adanya korelasi negatif antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan. Namun, masih banyak yang bingung untuk menentukan apakah tingkat fertilitas yang tinggi menyebabkan kemiskinan atau kemiskinanlah yang justru menjadi penyebab fertilitas yang tinggi.
Tingkat kelahiran yang tinggi dengan kemiskinan bisa di ibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak bisa di pisahkan. Tingkat kelahiran yang tinggi akan menyebabkan banyak anak yang tidak dapat di jamin kualitas hidupnya. Jumlah gizi yang diterima cenderung rendah begitu pula tingkat pendidikannya. Apabila suatu keluarga memiliki banyak anak sudah dapat dipastikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya akan terbagi – bagi sehingga tidak maksimal. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, seseorang tentu saja akan sulit bersaing di pasar tenaga kerja . Hal itu dapat diperparah apabila jumlah lapangan kerja yang tersedia sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Permasalahan tersebut sering dijumpai di negara dunia ketiga.
Kemiskinan juga dapat menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Misalnya, karena hidup dalam kemiskinan seorang kepala rumah tangga memutuskan untuk memiliki banyak anak, dengan harapan agar anak- anak tersebut nantinya dapat menopang keuangan keluarga tersebut dan pada akhirnya dapat keluar dari jeratan kemiskinan.
Untuk melihat hubungan tingkat kelahiran dengan ekonomi atau kemiskinan khususnya, maka negara Lithuania di Afrika dapat kita jadikan sebagai contoh. Berikut gambaran yang terjadi di sana.
Pada awal 1990-an , krisis ekonomi terjadi di Lithuania yang berlangsung hingga tahun 1995. Selama periode ini , PDB Lithuania mengalami penurunan yang tajam ( Grafik 1 ) , antara tahun 1992 dan 1993 Lithuania mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 15 persen per tahun . Tingkat inflasi pun sangat tinggi, bahkan di tingkat hiperinflasi ( 1163 persen ) pada tahun 1992 . Hal itu menyebabkan masyarakat Lithuania mendadak menjadi “miskin” dan timbul ketidakmetaraan pendapatan di masyarakat .
Pada awal 1990-an , masyarakat Lithuania mengalami hampir lima tahun yang panjang dalam penurunan kinerja ekonomi yang cukup ekstrim . Perekonomian Lithuania mengalami  titik terendahnya pada periode 1992-1994 , dan baru pada tahun 1995 lah pemulihan ekonomi baru di mulai, walaupun prosesnya berjalan cukup lambat .
Tanda-tanda pertumbuhan ekonomi terlihat pada periode 1995-1998 . Pada periode 1999-2000 , perekonomian Lithuania kembali merosot . PDB menurun hingga 1,7 persen pada tahun 1999 , dan tingkat pengangguran melebihi 10 persen pada periode 2000 hingga 2002. Setelah di cermati ternyata krisis keuangan Rusia pada periode 1990-an lah yang bertanggung jawab atas ketidakstabilan ekonomi Lithuania dalam periode tersebut.
Sejak tahun 2001 , perekonomian Lithuania telah tumbuh pada tingkat yang cukup tinggi , lebih dari 6 persen per tahun . Pada tahun 2003 , PDB meningkat sebesar 10,5 persen ( Statistik Lithuania 2007) . Pada periode 2004-2005 pengangguran menurun secara signifikan . Pada awal 2006, tingkat pengangguran adalah 4 persen ( Labour Exchange 2007 ) . Tingkat pengangguran bagi kaum muda tetap tinggi sampai tahun 2005 . Menurut survei angkatan kerja, tingkat pengangguran pada rentang usia 15 hingga 24 tahun cukup tinggi yaitu lebih dari 20 persen dan hanya menurun menjadi 14 persen pada tahun 2005 ( Statistik Lithuania 2000 , Statistik Lithuania 2002a , Statistik Lithuania 2003 , Bursa Kerja 2001 , Statistik Lithuania 2007 , Bursa Buruh 2007 ) .
Selama tahun 1990 , produksi antar lini sektor mengalami perubahan di Lithuania. Persentase pada PDB yang dihasilkan oleh industri turun secara signifikan , tapi persetase yang disumbangkan oleh sektor jasa mengalami kenaikan. Pada tahun 1992 , 49 persen dari PDB disumbangkan oleh industri dan konstruksi , 39 per persen oleh layanan , dan 12 persen oleh pertanian ( Statistik Lithuania 1997). Pada tahun 2000 sektor ini masing-masing menghasilkan 30, 62 dan 8 persen dari PDB ( Statistik Lithuania2000) , dan pada tahun 2004 sebesar 34 , 60 dan 6 persen ( Statistik Lithuania2007) .
Perubahan yang sesuai diamati pada pekerjaan berdasarkan sektor . Pada tahun 1990 sebesar 39 persen , pada tahun 2000 sebesar 54 persen , dan pada tahun 2004 sebesar 56 persen dari semua karyawan yang terlibat dalam sektor jasa. Perssentase  penduduk bekerja di sektor industri dan konstruksi turun tajam : dari 42 persen menjadi sekitar 27 persen dan 28 persen ( Statistik Lithuania 2000 , Statistik Lithuania 2007) . Transformasi gejolak ekonomi ini menyebabkan diperlukannya banyak adaptasi bagi masyarakat dan disertai dengan peningkatan risiko kehilangan pekerjaan. Maka untuk mendapatkan pekerjaan di butuhkan kualifikasi yang lebih tinggi dari biasanya.
Meskipun perekonomian Lithuania sangat tidak stabil pada 1990-an. Ternyata pendapatan per kapita penduduknya meningkat dari US $ 487 di tahun 1992 menjadi sekitar € 2600 pada tahun 1996 , menjadi € 3800 di tahun 2000 , dan € 6.030 pada tahun 2005 ( Statistik Lithuania 2007 ) .
Namun demikian , tingkat kemiskinan masih cukup tinggi . Tingkat kemiskinan relatif adalah 18 persen pada tahun 1995 dan 16 sampai 17 persen pada periode 1998 sampai 2005 ( Statistik Lithuania 2007) . Tingkat konsumsi makanan menurun, tetapi terus meningkat menjadi cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan. Pada tahun 1997 tingkat konsumsi adalah sebesar 52 persen , pada tahun 2005 sebesar 39 persen , dan di daerah pedesaan pada tahun 2005 sebesar 49 persen ( Statistik Lithuania 2007) .
Penurunan kinerja ekonomi di tahun-tahun pertama transformasi menyebabkan penurunan standar hidup , dan mendorong berbagai kelompok sosial dan ekonomi dalam kemiskinan. Menurut data dari Statistik Lihtuania , sebuah strata sosial keluarga muda dengan standar hidup yang sangat rendah bemunculan . Mereka keluarga muda yang memiliki lebih dari satu anak , hidup terpisah dari orang tua mereka , dan memiliki setidaknya satu pencari nafkah yang bekerja di sektor publik , industri , atau konstruksi , dan keluarga yang tinggal di daerah pedesaan. Selain itu, data menunjukkan bahwa standar hidup secara langsung berkaitan dengan jumlah anak dalam keluarga , dan selama hampir satu dekade situasi ini belum berubah .
Dibandingkan dengan rumah tangga tanpa anak , pada tahun 1997 rata-rata konsumsi pengeluaran per kapita per bulan di rumah tangga dengan satu anak di bawah 18 tahun adalah 14 persen lebih rendah , dan di rumah tangga dengan tiga anak atau lebih di bawah 18 tahun adalah 49 persen lebih rendah ( UNICEF 1998) . Pada tahun 2005, masing-masing, 15 dan 51 per persen lebih rendah ( Statistik Lithuania 2006c ) . Kemiskinan yang paling umum di keluarga dengan anak di bawah 18 tahun , dan ini terutama terjadi dalam rumah tangga dengan beberapa anak (tiga dan lebih ) . Tingkat kemiskinan relatif antara keluarga seperti pada tahun 1997 dan pada tahun 2005 adalah 37 persen ( UNICEF 1998 , Statistik Lithuania 2006b ) .
Dengan demikian , tidaklah mengherankan bahwa tingkat kelahiran turun tajam pada awal 1990 , terutama pada periode 1993-1994 . Pada awal 1990-an , niat untuk melahirkan menurun secara signifikan. Jumlah anak yang diinginkan menurun dari 2,8 pada tahun 1990 menjadi 2,1 pada periode 1994-1995 ( Stankuniene et al . 2000) ..
Determinan ekonomi ternyata memiliki efek yang kuat pada penurunan kesuburan di awal transformasi ekonomi dan selama krisis. Bahkan, mereka menjabat sebagai dorongan untuk perubahan dalam pembentukan keluarga, penolakan dan penundaan pernikahan, menghindari kewajiban perkawinan jangka panjang, dll, dan kesuburan, penundaan melahirkan, atau memiliki anak lebih sedikit. Namun, dalam paruh kedua tahun 1990-an, dampak dari determinan ekonomi mulai melemah dan membuat kewalahan para pengambil kebijakan.
Dari contoh di negara Lithuania tersebut bisa kita lihat bahwa dalam sebuah transisi perekonomian, yang biasanya di gambarkan dengan ketidaakstabilan ekonomi, inflasi, pengangguran dan kemiskinan, tingkat kelahiran akan cenderung rendah. Namun, dalam jangka panjang kemiskinan akan menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Karena faktor-faktor dari transisi tersebut mulai melemah.

B.   Hubungan Tingkat Pendapatan Terhadap Preferensi Kelahiran

Efek kelahiran terhadap pendapatan suatu keluarga tergantung dari pilihan reproduksi (behavioral demands) atau reproduktif sukarela (biological supply). Behavioral demands berarti reproduksi sebagai sebuah alat untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan biological supply yaitu anak sebagai penerus dari generasi sebelumnya.
Kekayaan sebuah keluarga diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi modern dan nantinya akan mendorong orang tua untuk memiliki lebih banyak anak, jika biaya relatif dan fungsi anak-anak tidak berubah (Becker 1960, Schultz 1981). Biaya oportunitas memiliki anak akan meningkat seiring dengan biaya barang dan kegiatan dalam membesarkan anak-anak, sedangkan biaya pribadi, di beberapa kebutuhan pengganti untuk anak-anak telah menurun, seperti pensiun hari tua dan perawatan kesehatan atau telah disosialisasikan dan di subsidi oleh pemerintah.
 Tingkat kelahiran menurun di negara-negara berpenghasilan tinggi melalui teknologi pengontrol tingkat kelahiran. Perbaikan dalam teknologi kesehatan anak meningkatkan proporsi tingkat kelahiran yang selamat sampai dewasa. Perkembangan kesehatan ini menurunkan tingkat kelahiran, dengan dua asumsi: tujuan reproduksi induk didefinisikan terutama dalam hal jumlah anak yang bertahan hidup dan permintaan akan keselamatan bayi adalah inelastis yang tinggi.(Schultz 1981).
Pengeluaran per anak merupakan keputusan sebuah keluarga yg biasa disebut Beckker “demand for child quality”. Bukti yang berkembang di abad 20 ini, keuntungan atau imbal balik dari anak yang bersekolah berarti pula bahwa biaya dari bersekolah menjadi lebih rendah. Hal itu akan mendorong orang tua dan masyarakat untuk berinvestasi lebih banyak pada sumber daya dalam pendidikan anak-anak. Beckker juga menganggap bahwa elastisitas pendapatan pada permintaan untuk kualitas anak lebih besar daripada elastisitas pendapatan terhadap permintaan kuantitas anak. Dan ini seharusnya mendorong orangtua untuk mengganti kualitas anak untuk kuantitas anak agar pendapatan mereka meningkat dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut penelitian sebelumnya semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita suatu keluarga maka akan semakin rendah tingkat kelahiran. (Grafis 2)

C.   Peran Wanita Terhadap Tingkat Kelahiran

Pada abad ke 19, sebaran pertumbuhan dunia disebabkan oleh meningkatnya bentuk konsumsi anak yang semakin beragam, adalah bukti dari kemajuan sekolah wanita, termasuk dalam pendidikan tinggi.  Peningkatan tingkat pendidikan bagi wanita merupakan kunci dari faktor yang menjelaskan perbedaan tingkat fertilitas dalam populasi, dan perhitungan untuk penurunan fertilitass ecara keseluruhan pada tahun 1980 dan tahun 1990.
Sekolah untuk wannita mungkin juga dapat memberi dampak untuk resiko kematian anak. Sensus yang dilakukan setelah perang dunia kedua memberikan bukti bahwa lusinan negara mengalami 5-10 persen kematian anak yang lebih rendah ketika sang ibu telah mengenyam pendidikan selama bebrapa tahun.
Pendidikan bagi wanita juga relatif dekat dengan partisipasi angkatan kerja bagi keluarganya, sehingga tidak bergantung pada pemegang pendapatan utama keluarga itu sendiri yaitu sang suami. Hal itu karena mereka dapat bergabung dalam menghasilkan pendapatan bagi kelangsungan keluarga mereka. Pendidikan bagi wanita, tidak hanya berguna bagi fertilitas dalam hidupnya, namun juga dapat dijadikan ukuran bagi seorang wanita untuk menemukan usia yang cocok bagi mereka untuk melakukan pernikahan, karena dengan hal tersebut sang wanita dapat mencocokkan masa produktifnya dengan sang suami sehingga mereka dapat secara bersama menentukan siklus hidup.
Semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka pendapatan dari wanita tersebut bisa jadi akan semakin tinggi pula. Dan itu sangat mempengaruhi terhadap preferensi seorang wanita untuk melahirkan. Sebuah penelitian menyimpulkan setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 10 % akan menurunkan angka kelahiran yang di harapkan oleh wanita yang berusia antara 15-49 tahun hingga sebesar 13%. Hal ini di dasari oleh meningkatnya biaya oportunitas memiliki anak pada saat pendapatannya meningkat. Sehingga seorang wanita akan lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk bekerja ketimbang merawat anak. Sehingga tingkat kelahiran akan menurun apabila tingkat pendidikan dan pendapatan wanita tergolong tinggi.


KESIMPULAN


Tingkat kelahiran yang tinggi dengan kemiskinan bisa di ibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak bisa di pisahkan. Tingkat kelahiran yang tinggi akan menyebabkan banyak anak yang tidak dapat di jamin kualitas hidupnya. Jumlah gizi yang diterima cenderung rendah begitu pula tingkat pendidikannya. Apabila suatu keluarga memiliki banyak anak sudah dapat dipastikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya akan terbagi – bagi sehingga tidak maksimal. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, seseorang tentu saja akan sulit bersaing di pasar tenaga kerja . Hal itu dapat diperparah apabila jumlah lapangan kerja yang tersedia sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Kemiskinan juga dapat menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Misalnya, karena hidup dalam kemiskinan seorang kepala rumah tangga memutuskan untuk memiliki banyak anak, dengan harapan agar anak- anak tersebut nantinya dapat menopang keuangan keluarga tersebut dan pada akhirnya dapat keluar dari jeratan kemiskinan.
Dalam sebuah transisi perekonomian, yang biasanya di gambarkan dengan ketidaakstabilan ekonomi, inflasi, pengangguran dan kemiskinan, tingkat kelahiran akan cenderung rendah. Namun, dalam jangka panjang kemiskinan akan menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Karena faktor-faktor dari transisi tersebut mulai melemah
Efek kelahiran terhadap pendapatan suatu keluarga tergantung dari pilihan reproduksi (behavioral demands) atau reproduktif sukarela (biological supply).
Pengeluaran per anak merupakan keputusan sebuah keluarga yg biasa disebut Beckker “demand for child quality”. Beckker menganggap bahwa elastisitas pendapatan pada permintaan untuk kualitas anak lebih besar daripada elastisitas pendapatan terhadap permintaan kuantitas anak. Dan ini seharusnya mendorong orangtua untuk mengganti kualitas anak untuk kuantitas anak agar pendapatan mereka meningkat dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, maka pendapatan nya bisa jadi akan semakin tinggi pula. Dan itu sangat mempengaruhi terhadap preferensi seorang wanita untuk melahirkan.
Kenaikan pendapatan per kapita sebesar 10 % akan menurunkan angka kelahiran yang di harapkan oleh wanita yang berusia antara 15-49 tahun hingga sebesar 13%. Hal ini di dasari oleh meningkatnya biaya oportunitas memiliki anak pada saat pendapatannya meningkat.
Sehingga seorang wanita akan lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk bekerja ketimbang merawat anak. Sehingga tingkat kelahiran akan menurun apabila tingkat pendidikan dan pendapatan wanita tergolong tinggi.



DAFTAR PUSTAKA


Paul, T. Schultz. 2005. “Fertility and Income”. Economic Growth Center Yale
            University. Paper No.925.
_____________. 2001. “The Fertility Transition Economic Explanations”.
            Economic Growth Center Yale University. Paper No.833.
Stankuniene, Vlada and Aiva Jasilioniene. 2008.“Lithuania: Fertility decline and its
            determinants”. Demographic Research. July, Vol.19 Article 19.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar