Minggu, 07 Desember 2014

PERAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA

A.    Latar Belakang
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan bahan pangan maupun bahan baku untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Pertanian tidak hanya aktivitas bercocok tanam semata, namun mencakup ternak hewan, perikanan,hasil hutan dan perkebunan. Pertanian mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan, terutama sebagai faktor terpenting dalam pemenuhan bahan pangan serta kontribusinya yang sangat signifikan bagi perekonomian suatu bangsa. Sektor pertanian memegang peranan penting karena sebesar 34% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor tersebut.
Sektor pertanian mempunyai peran yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Peran besar itu terlihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2013, yaitu sebesar 14,4% . Besarnya kontribusi sektor pertanian hanya kalah dari sektor industri pengolahan yang memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 23,7% di tahun 2013. Sektor perdagangan , hotel dan restoran menjadi sektor terbesar ketiga dengan kontribusinya yang hanya terpaut sedikit dibandingkan pertanian yaitu sebesar 14,3%.
Berdasarkan potensi yang ada, Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk menjadi negara yang bukan saja mampu memenuhi kebutuhan pangan , tetapi juga sebagai pengekspor utama berbagai produk dan jasa yang berbasis pertanian (Haryanto, 2009: 10). Kinerja perdagangan komoditas pertanian dapat dilihat dari neraca perdagangan luar negeri yang mencakup sub sektor tanaman panganm hortikultura, perkebunan dan peternakan .Dalam perkembangannya surplus perdagangan komoditas pertanian cenderung berfluktuasi . Rata – rata surplus perdagangan meningkat kurang lebih sebesar 1% per tahun selama 2008 – 2013 .
Seiring dengan transformasi struktural yang terjadi di Indonesia, yaitu dengan peralihan perekonomian yang berbasis peertanian menuju ke industri menyebabkan negara ini mengalami beberapa permasalahan yang harus dihadapi. Semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian menyebabkan semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bercocok tanam. Pertumbuhan penduduk yang pesat membuat kebutuhan akan lahan pemukiman semakin meningkat. Selain itu industri yang terus berkembang juga menjadi penyebab utama lahan pertanian yang terus berkurang.
Dengan segala permasalahan di atas, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri sendiri. Mau tidak mau Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi defisit tersebut. Masalah baru pun muncul, karena akan timbul ketergantungan dari Indonesia terhadap negara eksportir komoditas pertanian yang di impor Indonesia. Bayangkan saja apabila negara tersebut tidak dapat mengekspor sesuai dengan jumlah yang diminta Indonesia, akan terjadi kelangkaan komoditas pertanian di dalam negari akibat kurangnya pasokan. Bisa dipastikan harga harga barang kebutuhan pokok akan melambung tinggi dan memicu inflasi.
B.     Pembahasan
a.      Peran Sektor Pertanian terhadap Perekonomian
Sektor pertanian menjadi salah satu dari unsur-unsur yang mengisi pertumbuhan perekonomian disetiap negara, walaupun hanya menyumbang kurang dari ¼ pendapatan negara. Sektor pertanian tetap menjadi penopang terhadap pendapatan dari setiap negara terutama di Indonesia yang tiap tahunnya mengekspor berbagai bahan pokok yang menjadi pemasukan bagi devisa negara.

Dari data yang di lansir oleh Badan Pusat Statistik, dapat dilihat bahwa tren kontribusi di sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku menurun. Sepuluh tahun yang lalu kontribusi pertanian terhadap PDB sebesar 15,19 persen. Pada 2013, kontribusi pertanian terhada PDB menjadi 14,43 persen seperti yang terlihat di gambar 1. Meskipun menurun, sektor pertanian masih merupakan salah satu sektor terpenting di Indonesia. Ada empat sektor utama yang menopang pertumbuhan nasional yaitu industri pengolahan, pertanian, pertambangan dan perdagangan,hotel dan restoran. Keempat sektor tersebut berperan sebesar 63% terhadap perekonomian Indonesia.
 Nilai output dari sektor pertanian terus meningkat sejak tahun 2000 hingga tahun 2013. Tahun 2000 total output sektor pertanian Indonesia adalah sebesar Rp 216.831 miliar. Angka tersebut terus meningkat hingga di tahun 2013 menjadi Rp 729.301 miliar. Peningkatan pesat terjadi di antara tahun 2007 dan 2008 yaitu dari Rp 541.931 miliar menjadi Rp 716.656 miliar. Peningkatan nilai output yang cukup tinggi di periode tahun 2000 sampai dengan 2013 tidak dapat membantu meningkatkan kontribusi dari sektor pertanian yang terus menurun terhadap produk domestik bruto Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan karena peningkatan di sektor pertanian tidak secepat di sektor lainnya terutama sektor industri dan perdagangan. Selama satu dekade, sektor lain berkembang lebih pesat dibandingkan sektor pertanian. Sehingga, meskipun sektor pertanian mengalami pertumbuhan, namun kontribusinya terhadap PDB menjadi lebih rendah di bawa rata-rata pertumbuhan sektor lain. Kondisi ini cukup disayangkan, karena pada periode sama, 2013, penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih mendominasi. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih tinggi mencapai 38,07 juta orang.
Subsektor dari sektor pertanian yang paling mendominasi yaitu subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor tersebut menyumbang kotribusi lebih dari 50% nilai output dari sektor pertanian. Subsektor tanaman bahan makanan mencakup bahan pangan pangan seperti beras, jagung, gandum dan lainnya. Kelima subsektor pertanian mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir ini. Subsektor yang paling cepat pertumbuhannya adalah tanaman bahan makanan dan yang paling lambat adalah subsektor kehutanan.

Tabel 1.
Konsumsi Beras Per Kapita Nasional Periode 2010 -2013

URAIAN
2010
2011
2012
2013
Konsumsi seminggu (kapita/minggu)
- Kuantitas (Kg)
1.729
1.716
1.673
1.64
- Nilai (Rp)
9,837.00
9,940.00
13,091.00
13,080.00
Konsumsi setahun (kapita/tahun)




- Kuantitas (Kg)
90.155
89.477
87.235
85.514
- Nilai (Rp)
512,929.29
518,300.00
682,602.14
682,028.57
Sumber: Kementerian Pertanian RI
Beras merupakan salah satu komoditas paling penting dalam sektor pertanian, karena penduduk di seluruh daerah di Indonesia menjadikan nasi sebagai bahan makanan utamanya. Ada kecenderungan menarik yang bisa dilihat di tabel 1, yaitu walaupun tingkat konsumsi beras oleh penduduk Indonesia terus berkurang sejak tahun 2010 namun nilai outputnya cenderung meningkat. Hal itu disebabkan oleh naiknya harga beras karena berbagai macam faktor. Salah satunya adalah berkurangnya pasokan beras dalam negeri dan memaksa Indonesia untuk mengimpor dari negara penghasil beras seperti Vietnam.
Tabel  2
 4 Komoditi Impor Pertanian Indonesia Terbesar
No.
Komoditas
Nilai (US$)
1
Gandum
4,505,589,004.00
2
Jagung
2,191,273,694.00
3
Kedelai
1,589,973,260.00
4
Kapas
1,393,383,338.00
             Sumber: Kementerian Pertanian RI
Impor beras seperti yang kita lihat di tabel 2, memang bukan komoditas impor pertanian terbesar Indonesia. Namun, nilainya juga tidak kecil yaitu sebesar US$ 407.800.603 di tahun 2013. Angka itu cukup besar jika melihat potensi Indonesia yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri atau swasembada. Komoditas impor pertanian terbesar di tahun 2013 adalah Gandum yaitu sebesar US$ 4.505.589.004. Gandum sangat dibutuhkan terutama oleh industri tepung, yang nantinya akan menjadi bahan baku untuk membuat roti, mie dan masih banyak lagi. Komoditas impor lainnya yang tidak kalah penting dan dapat menciptakan inflasi adalah kedelai. Kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu yang notabene makanan utama penduduk Indonesia tentu saja perannya sangat penting. Tingkat impor kedelai Indonesia di tahun 2013 adalah sebesar US$ 1.589.973.260.
Tabel 3
 4 Komoditi Ekspor Pertanian Indonesia Terbesar

No.
Komoditas
Nilai (US$)
1
Kelapa Sawit
17,677,357,534.00
2
Karet
6,906,952,384.00
3
Kopi
1,174,044,469.00
4
Kakao
1,151,480,680.00
                          Sumber: Kementerian Pertanian RI
Selain mengimpor, Indonesia juga melakukan ekspor komditas sektor pertanian. Komoditas yang di ekspor sebagian besar berasal dari subsektor perkebunan. Terlihat dari data di tabel 3 bahwa keempat komoditas ekspor pertanian terbesar Indonesia berasal dari subsektor pertanian. Kelapa sawit menjadi kontributor terbesar dengan tingkat ekspor sebesar US$ 17.677.357.534. Kelapa sawit yang merupakan bahan baku utama minyak goreng menjadi andalan utama ekspor komoditas pertanian Indonesia. Karena Indonesia merupakan salah satu eksportir terbesar kelapa sawit di dunia bersama dengan Malaysia. Begitu juga dengan komoditas karet yang tingkat ekspornya sebesar US$ 6.906.952.384 di tahun 2013. Bersama dengan Thailand,Malaysia dan Vietnam, Indonesia menjadi penguasa pasar ekspor karet alam di dunia. Lima tahun belakangan, Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan sektor pertanian. Surplus terbesar terjadi di tahun 2011 yaitu sebesar US$ 22,77 Miliar. Selama periode 2009 – 2013, surplus perdagangan sektor pertanian rata – rata meningkat sebesar 5% pertahun.
b.      Peran Sektor Pertanian terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
            Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.
Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.
Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.
Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.

C.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan bahan pangan maupun bahan baku untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
2.      Sektor pertanian mempunyai peran yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Peran besar itu terlihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2013, yaitu sebesar 14,4% . Terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan.
3.      Seiring dengan transformasi struktural yang terjadi di Indonesia, yaitu dengan peralihan perekonomian yang berbasis peertanian menuju ke industri menyebabkan negara ini mengalami beberapa permasalahan yang harus dihadapi. Semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian menyebabkan semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bercocok tanam.
4.      Peningkatan nilai output yang cukup tinggi di periode tahun 2000 sampai dengan 2013 tidak dapat membantu meningkatkan kontribusi dari sektor pertanian yang terus menurun terhadap produk domestik bruto Indonesia.
5.      Subsektor dari sektor pertanian yang paling mendominasi yaitu subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor tersebut menyumbang kotribusi lebih dari 50% nilai output dari sektor pertanian
6.      tingkat konsumsi beras oleh penduduk Indonesia terus berkurang sejak tahun 2010 namun nilai outputnya cenderung meningkat. Hal itu disebabkan oleh naiknya harga beras karena berbagai macam faktor. Salah satunya adalah berkurangnya pasokan beras dalam negeri dan memaksa Indonesia untuk mengimpor dari negara penghasil beras
7.      Komoditas impor pertanian terbesar di tahun 2013 berasal dari subsektor bahan pangan. Sedangkan komoditas ekspor terbesar sebagian besar berasal dari subsektor perkebunan.
8.      Lima tahun belakangan, Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan sektor pertanian. Surplus terbesar terjadi di tahun 2011 yaitu sebesar US$ 22,77 Miliar
9.       Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS), dengan pertumbuhan sebesar 0.29 persen dari tahun 2000 sampai 2008.
10.   Dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian dan pembukaan lahan baru. Selain itu juga  dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia.

Daftar Pustaka

Haryanto, Tri dkk. 2009. Ekonomi Pertanian. AUP: Surabaya.

Wahyuningsih, Sri dkk. 2013. Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian.Vol. 4. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.

HUBUNGAN TINGKAT KELAHIRAN DENGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

LATAR BELAKANG

            Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli kependudukan maupun para ekonom mengenai hubungan yang terjadi antara tingkat kesejahteraan ekonomi terhadap tingkat kelahiran di suatu daerah atau negara.
            Negara – negara berkembang di Asia dan Afrika seringkali menjadi objek tempat di lakukannya penelitian karena dianggap tingkat ekonominya masih rendah dan tingkat kelahirannya yang cenderung masih tinggi.
            Tingkat kelahiran cenderung lebih tinggi di suatu masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dan hal yang sama berlaku pula pada negara dengan tingkat kelahiran tinggi, ternyata juga memilik pendapatan per kapita penduduknya yang tergolong rendah. Peristiwa tersebut menyiratkan bahwa tingkat kelahiran yang tinggi ternyata menyebabkan kemiskinan di masyarakat, atau kemiskinan dapat memberikan kontribusi terhadap tingkat kelahiran.
            Pada abad 20 – 21 terjadi penurunan tingkat kelahiran di dunia yang ternyata di iringi pula dengan meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang di anggap memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dengan begitu sejauh ini terlihat bahwa ada hubungan langsung antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan. Maka dari itu perlu di dalami apakah perlu untuk menerapkan kebijakan untuk mengontrol tingkat kelahiran seperti yang di lakukan negara Cina.


RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah hubungan antara tingkat kelahiran dengan ekonomi dan kemiskinan?
2.      Apakah hubungan antara tingkat pendapatan suatu keluarga dengan preferensi jumlah anak yang ingin dimiliki ?
3.      Apakah peran seorang wanita terhadap tingkat kelahiran (dilihat dari faktor pendapatan dan edukasi)?


TUJUAN PENULISAN

1.      Mengetahui hubungan antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan.
2.      Mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan suatu keluarga dengan preferensi jumlah anak yang ingin dimiliki.
3.      Mengetahui peran seorang wanita terhadap tingkat kelahiran (dilihat dari faktor pendapatan dan edukasi).


LANDASAN TEORI

Notestein (1945) menjelaskan bahwa dimensi awal transisi demografi berspekulasi pada tekanan ekonomi, dimana ia berharap tingkat kelahiran (fertilitas) di dunia pada penduduk berpenghasilan rendah berkurang karena di masa depan yang terjadi adalah meningkatnya biaya yang berasal dari anak-anak di dalam kehidupan perkotaan, yang berasal dari peningkatan biaya kesehatan anak dan juga pendidikannya.
Hipotesis lainnya berasal dari Mincer (1963), yang berpendapat bahwa sumber dari pendapatan keluarga dapat mempengaruhi keputusan orang tua untuk memiliki anak lagi. Misalnya, jika kenaikan pada pendapatan keluarga berasal dari meningkatnya nilai waktu kerja seorang perempuan dalam keluarga (istri) maka peningkatan tersebut tidak hanya menambah pendapatan keluarga namun juga meningkatkan harga efektif dari seorang anak . Jadi orang tua akan memilih untuk memiliki anak dengan jumlah yang  sedikit.


PEMBAHASAN


A.    Hubungan Tingkat Kelahiran dengan Kemiskinan

Selama ini para peneliti maupun ekonom memang sudah mengetahui adanya korelasi negatif antara tingkat kelahiran dengan kemiskinan. Namun, masih banyak yang bingung untuk menentukan apakah tingkat fertilitas yang tinggi menyebabkan kemiskinan atau kemiskinanlah yang justru menjadi penyebab fertilitas yang tinggi.
Tingkat kelahiran yang tinggi dengan kemiskinan bisa di ibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak bisa di pisahkan. Tingkat kelahiran yang tinggi akan menyebabkan banyak anak yang tidak dapat di jamin kualitas hidupnya. Jumlah gizi yang diterima cenderung rendah begitu pula tingkat pendidikannya. Apabila suatu keluarga memiliki banyak anak sudah dapat dipastikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya akan terbagi – bagi sehingga tidak maksimal. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, seseorang tentu saja akan sulit bersaing di pasar tenaga kerja . Hal itu dapat diperparah apabila jumlah lapangan kerja yang tersedia sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Permasalahan tersebut sering dijumpai di negara dunia ketiga.
Kemiskinan juga dapat menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Misalnya, karena hidup dalam kemiskinan seorang kepala rumah tangga memutuskan untuk memiliki banyak anak, dengan harapan agar anak- anak tersebut nantinya dapat menopang keuangan keluarga tersebut dan pada akhirnya dapat keluar dari jeratan kemiskinan.
Untuk melihat hubungan tingkat kelahiran dengan ekonomi atau kemiskinan khususnya, maka negara Lithuania di Afrika dapat kita jadikan sebagai contoh. Berikut gambaran yang terjadi di sana.
Pada awal 1990-an , krisis ekonomi terjadi di Lithuania yang berlangsung hingga tahun 1995. Selama periode ini , PDB Lithuania mengalami penurunan yang tajam ( Grafik 1 ) , antara tahun 1992 dan 1993 Lithuania mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 15 persen per tahun . Tingkat inflasi pun sangat tinggi, bahkan di tingkat hiperinflasi ( 1163 persen ) pada tahun 1992 . Hal itu menyebabkan masyarakat Lithuania mendadak menjadi “miskin” dan timbul ketidakmetaraan pendapatan di masyarakat .
Pada awal 1990-an , masyarakat Lithuania mengalami hampir lima tahun yang panjang dalam penurunan kinerja ekonomi yang cukup ekstrim . Perekonomian Lithuania mengalami  titik terendahnya pada periode 1992-1994 , dan baru pada tahun 1995 lah pemulihan ekonomi baru di mulai, walaupun prosesnya berjalan cukup lambat .
Tanda-tanda pertumbuhan ekonomi terlihat pada periode 1995-1998 . Pada periode 1999-2000 , perekonomian Lithuania kembali merosot . PDB menurun hingga 1,7 persen pada tahun 1999 , dan tingkat pengangguran melebihi 10 persen pada periode 2000 hingga 2002. Setelah di cermati ternyata krisis keuangan Rusia pada periode 1990-an lah yang bertanggung jawab atas ketidakstabilan ekonomi Lithuania dalam periode tersebut.
Sejak tahun 2001 , perekonomian Lithuania telah tumbuh pada tingkat yang cukup tinggi , lebih dari 6 persen per tahun . Pada tahun 2003 , PDB meningkat sebesar 10,5 persen ( Statistik Lithuania 2007) . Pada periode 2004-2005 pengangguran menurun secara signifikan . Pada awal 2006, tingkat pengangguran adalah 4 persen ( Labour Exchange 2007 ) . Tingkat pengangguran bagi kaum muda tetap tinggi sampai tahun 2005 . Menurut survei angkatan kerja, tingkat pengangguran pada rentang usia 15 hingga 24 tahun cukup tinggi yaitu lebih dari 20 persen dan hanya menurun menjadi 14 persen pada tahun 2005 ( Statistik Lithuania 2000 , Statistik Lithuania 2002a , Statistik Lithuania 2003 , Bursa Kerja 2001 , Statistik Lithuania 2007 , Bursa Buruh 2007 ) .
Selama tahun 1990 , produksi antar lini sektor mengalami perubahan di Lithuania. Persentase pada PDB yang dihasilkan oleh industri turun secara signifikan , tapi persetase yang disumbangkan oleh sektor jasa mengalami kenaikan. Pada tahun 1992 , 49 persen dari PDB disumbangkan oleh industri dan konstruksi , 39 per persen oleh layanan , dan 12 persen oleh pertanian ( Statistik Lithuania 1997). Pada tahun 2000 sektor ini masing-masing menghasilkan 30, 62 dan 8 persen dari PDB ( Statistik Lithuania2000) , dan pada tahun 2004 sebesar 34 , 60 dan 6 persen ( Statistik Lithuania2007) .
Perubahan yang sesuai diamati pada pekerjaan berdasarkan sektor . Pada tahun 1990 sebesar 39 persen , pada tahun 2000 sebesar 54 persen , dan pada tahun 2004 sebesar 56 persen dari semua karyawan yang terlibat dalam sektor jasa. Perssentase  penduduk bekerja di sektor industri dan konstruksi turun tajam : dari 42 persen menjadi sekitar 27 persen dan 28 persen ( Statistik Lithuania 2000 , Statistik Lithuania 2007) . Transformasi gejolak ekonomi ini menyebabkan diperlukannya banyak adaptasi bagi masyarakat dan disertai dengan peningkatan risiko kehilangan pekerjaan. Maka untuk mendapatkan pekerjaan di butuhkan kualifikasi yang lebih tinggi dari biasanya.
Meskipun perekonomian Lithuania sangat tidak stabil pada 1990-an. Ternyata pendapatan per kapita penduduknya meningkat dari US $ 487 di tahun 1992 menjadi sekitar € 2600 pada tahun 1996 , menjadi € 3800 di tahun 2000 , dan € 6.030 pada tahun 2005 ( Statistik Lithuania 2007 ) .
Namun demikian , tingkat kemiskinan masih cukup tinggi . Tingkat kemiskinan relatif adalah 18 persen pada tahun 1995 dan 16 sampai 17 persen pada periode 1998 sampai 2005 ( Statistik Lithuania 2007) . Tingkat konsumsi makanan menurun, tetapi terus meningkat menjadi cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan. Pada tahun 1997 tingkat konsumsi adalah sebesar 52 persen , pada tahun 2005 sebesar 39 persen , dan di daerah pedesaan pada tahun 2005 sebesar 49 persen ( Statistik Lithuania 2007) .
Penurunan kinerja ekonomi di tahun-tahun pertama transformasi menyebabkan penurunan standar hidup , dan mendorong berbagai kelompok sosial dan ekonomi dalam kemiskinan. Menurut data dari Statistik Lihtuania , sebuah strata sosial keluarga muda dengan standar hidup yang sangat rendah bemunculan . Mereka keluarga muda yang memiliki lebih dari satu anak , hidup terpisah dari orang tua mereka , dan memiliki setidaknya satu pencari nafkah yang bekerja di sektor publik , industri , atau konstruksi , dan keluarga yang tinggal di daerah pedesaan. Selain itu, data menunjukkan bahwa standar hidup secara langsung berkaitan dengan jumlah anak dalam keluarga , dan selama hampir satu dekade situasi ini belum berubah .
Dibandingkan dengan rumah tangga tanpa anak , pada tahun 1997 rata-rata konsumsi pengeluaran per kapita per bulan di rumah tangga dengan satu anak di bawah 18 tahun adalah 14 persen lebih rendah , dan di rumah tangga dengan tiga anak atau lebih di bawah 18 tahun adalah 49 persen lebih rendah ( UNICEF 1998) . Pada tahun 2005, masing-masing, 15 dan 51 per persen lebih rendah ( Statistik Lithuania 2006c ) . Kemiskinan yang paling umum di keluarga dengan anak di bawah 18 tahun , dan ini terutama terjadi dalam rumah tangga dengan beberapa anak (tiga dan lebih ) . Tingkat kemiskinan relatif antara keluarga seperti pada tahun 1997 dan pada tahun 2005 adalah 37 persen ( UNICEF 1998 , Statistik Lithuania 2006b ) .
Dengan demikian , tidaklah mengherankan bahwa tingkat kelahiran turun tajam pada awal 1990 , terutama pada periode 1993-1994 . Pada awal 1990-an , niat untuk melahirkan menurun secara signifikan. Jumlah anak yang diinginkan menurun dari 2,8 pada tahun 1990 menjadi 2,1 pada periode 1994-1995 ( Stankuniene et al . 2000) ..
Determinan ekonomi ternyata memiliki efek yang kuat pada penurunan kesuburan di awal transformasi ekonomi dan selama krisis. Bahkan, mereka menjabat sebagai dorongan untuk perubahan dalam pembentukan keluarga, penolakan dan penundaan pernikahan, menghindari kewajiban perkawinan jangka panjang, dll, dan kesuburan, penundaan melahirkan, atau memiliki anak lebih sedikit. Namun, dalam paruh kedua tahun 1990-an, dampak dari determinan ekonomi mulai melemah dan membuat kewalahan para pengambil kebijakan.
Dari contoh di negara Lithuania tersebut bisa kita lihat bahwa dalam sebuah transisi perekonomian, yang biasanya di gambarkan dengan ketidaakstabilan ekonomi, inflasi, pengangguran dan kemiskinan, tingkat kelahiran akan cenderung rendah. Namun, dalam jangka panjang kemiskinan akan menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Karena faktor-faktor dari transisi tersebut mulai melemah.

B.   Hubungan Tingkat Pendapatan Terhadap Preferensi Kelahiran

Efek kelahiran terhadap pendapatan suatu keluarga tergantung dari pilihan reproduksi (behavioral demands) atau reproduktif sukarela (biological supply). Behavioral demands berarti reproduksi sebagai sebuah alat untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan biological supply yaitu anak sebagai penerus dari generasi sebelumnya.
Kekayaan sebuah keluarga diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi modern dan nantinya akan mendorong orang tua untuk memiliki lebih banyak anak, jika biaya relatif dan fungsi anak-anak tidak berubah (Becker 1960, Schultz 1981). Biaya oportunitas memiliki anak akan meningkat seiring dengan biaya barang dan kegiatan dalam membesarkan anak-anak, sedangkan biaya pribadi, di beberapa kebutuhan pengganti untuk anak-anak telah menurun, seperti pensiun hari tua dan perawatan kesehatan atau telah disosialisasikan dan di subsidi oleh pemerintah.
 Tingkat kelahiran menurun di negara-negara berpenghasilan tinggi melalui teknologi pengontrol tingkat kelahiran. Perbaikan dalam teknologi kesehatan anak meningkatkan proporsi tingkat kelahiran yang selamat sampai dewasa. Perkembangan kesehatan ini menurunkan tingkat kelahiran, dengan dua asumsi: tujuan reproduksi induk didefinisikan terutama dalam hal jumlah anak yang bertahan hidup dan permintaan akan keselamatan bayi adalah inelastis yang tinggi.(Schultz 1981).
Pengeluaran per anak merupakan keputusan sebuah keluarga yg biasa disebut Beckker “demand for child quality”. Bukti yang berkembang di abad 20 ini, keuntungan atau imbal balik dari anak yang bersekolah berarti pula bahwa biaya dari bersekolah menjadi lebih rendah. Hal itu akan mendorong orang tua dan masyarakat untuk berinvestasi lebih banyak pada sumber daya dalam pendidikan anak-anak. Beckker juga menganggap bahwa elastisitas pendapatan pada permintaan untuk kualitas anak lebih besar daripada elastisitas pendapatan terhadap permintaan kuantitas anak. Dan ini seharusnya mendorong orangtua untuk mengganti kualitas anak untuk kuantitas anak agar pendapatan mereka meningkat dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut penelitian sebelumnya semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita suatu keluarga maka akan semakin rendah tingkat kelahiran. (Grafis 2)

C.   Peran Wanita Terhadap Tingkat Kelahiran

Pada abad ke 19, sebaran pertumbuhan dunia disebabkan oleh meningkatnya bentuk konsumsi anak yang semakin beragam, adalah bukti dari kemajuan sekolah wanita, termasuk dalam pendidikan tinggi.  Peningkatan tingkat pendidikan bagi wanita merupakan kunci dari faktor yang menjelaskan perbedaan tingkat fertilitas dalam populasi, dan perhitungan untuk penurunan fertilitass ecara keseluruhan pada tahun 1980 dan tahun 1990.
Sekolah untuk wannita mungkin juga dapat memberi dampak untuk resiko kematian anak. Sensus yang dilakukan setelah perang dunia kedua memberikan bukti bahwa lusinan negara mengalami 5-10 persen kematian anak yang lebih rendah ketika sang ibu telah mengenyam pendidikan selama bebrapa tahun.
Pendidikan bagi wanita juga relatif dekat dengan partisipasi angkatan kerja bagi keluarganya, sehingga tidak bergantung pada pemegang pendapatan utama keluarga itu sendiri yaitu sang suami. Hal itu karena mereka dapat bergabung dalam menghasilkan pendapatan bagi kelangsungan keluarga mereka. Pendidikan bagi wanita, tidak hanya berguna bagi fertilitas dalam hidupnya, namun juga dapat dijadikan ukuran bagi seorang wanita untuk menemukan usia yang cocok bagi mereka untuk melakukan pernikahan, karena dengan hal tersebut sang wanita dapat mencocokkan masa produktifnya dengan sang suami sehingga mereka dapat secara bersama menentukan siklus hidup.
Semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka pendapatan dari wanita tersebut bisa jadi akan semakin tinggi pula. Dan itu sangat mempengaruhi terhadap preferensi seorang wanita untuk melahirkan. Sebuah penelitian menyimpulkan setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 10 % akan menurunkan angka kelahiran yang di harapkan oleh wanita yang berusia antara 15-49 tahun hingga sebesar 13%. Hal ini di dasari oleh meningkatnya biaya oportunitas memiliki anak pada saat pendapatannya meningkat. Sehingga seorang wanita akan lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk bekerja ketimbang merawat anak. Sehingga tingkat kelahiran akan menurun apabila tingkat pendidikan dan pendapatan wanita tergolong tinggi.


KESIMPULAN


Tingkat kelahiran yang tinggi dengan kemiskinan bisa di ibaratkan sebagai dua sisi koin yang tak bisa di pisahkan. Tingkat kelahiran yang tinggi akan menyebabkan banyak anak yang tidak dapat di jamin kualitas hidupnya. Jumlah gizi yang diterima cenderung rendah begitu pula tingkat pendidikannya. Apabila suatu keluarga memiliki banyak anak sudah dapat dipastikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya akan terbagi – bagi sehingga tidak maksimal. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, seseorang tentu saja akan sulit bersaing di pasar tenaga kerja . Hal itu dapat diperparah apabila jumlah lapangan kerja yang tersedia sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Kemiskinan juga dapat menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Misalnya, karena hidup dalam kemiskinan seorang kepala rumah tangga memutuskan untuk memiliki banyak anak, dengan harapan agar anak- anak tersebut nantinya dapat menopang keuangan keluarga tersebut dan pada akhirnya dapat keluar dari jeratan kemiskinan.
Dalam sebuah transisi perekonomian, yang biasanya di gambarkan dengan ketidaakstabilan ekonomi, inflasi, pengangguran dan kemiskinan, tingkat kelahiran akan cenderung rendah. Namun, dalam jangka panjang kemiskinan akan menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi. Karena faktor-faktor dari transisi tersebut mulai melemah
Efek kelahiran terhadap pendapatan suatu keluarga tergantung dari pilihan reproduksi (behavioral demands) atau reproduktif sukarela (biological supply).
Pengeluaran per anak merupakan keputusan sebuah keluarga yg biasa disebut Beckker “demand for child quality”. Beckker menganggap bahwa elastisitas pendapatan pada permintaan untuk kualitas anak lebih besar daripada elastisitas pendapatan terhadap permintaan kuantitas anak. Dan ini seharusnya mendorong orangtua untuk mengganti kualitas anak untuk kuantitas anak agar pendapatan mereka meningkat dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, maka pendapatan nya bisa jadi akan semakin tinggi pula. Dan itu sangat mempengaruhi terhadap preferensi seorang wanita untuk melahirkan.
Kenaikan pendapatan per kapita sebesar 10 % akan menurunkan angka kelahiran yang di harapkan oleh wanita yang berusia antara 15-49 tahun hingga sebesar 13%. Hal ini di dasari oleh meningkatnya biaya oportunitas memiliki anak pada saat pendapatannya meningkat.
Sehingga seorang wanita akan lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk bekerja ketimbang merawat anak. Sehingga tingkat kelahiran akan menurun apabila tingkat pendidikan dan pendapatan wanita tergolong tinggi.



DAFTAR PUSTAKA


Paul, T. Schultz. 2005. “Fertility and Income”. Economic Growth Center Yale
            University. Paper No.925.
_____________. 2001. “The Fertility Transition Economic Explanations”.
            Economic Growth Center Yale University. Paper No.833.
Stankuniene, Vlada and Aiva Jasilioniene. 2008.“Lithuania: Fertility decline and its
            determinants”. Demographic Research. July, Vol.19 Article 19.